Makna Tut Wuri Handayani dan Efek Pandemi Menurut Pakar Pendidikan UB

    Makna Tut Wuri Handayani dan Efek Pandemi Menurut Pakar Pendidikan UB
    Pakar Pendidikan UB Aulia Luqman Aziz, S.Pd., M.Pd

    Melihat perkembangan situasi pandemi Covid-19 yang kasusnya terus menurun, Kemendikbudristek pada 24 Maret 2022 lalu melalui Surat Edaran Mendikbudristek Nomor 3 Tahun 2022, mengumumkan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas pada satuan pendidikan kembali mengikuti ketentuan yang sudah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri, yaitu Mendikbudristek, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Mendagri.

    Di dalam Surat Edaran tersebut juga dijelaskan bahwa orang tua/wali peserta didik diberikan pilihan untuk mengizinkan anaknya mengikuti PTM Terbatas atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

    Menanggapi hal tersebut, Pakar Pendidikan Universitas Brawijaya (UB) Aulia Luqman Aziz, S.Pd., M.Pd, Minggu (1/5/2022) menyampaikan, adanya kebijakan PTM Terbatas kembali menunjukkan ruh asal pendidikan, yakni adanya tatap muka antar guru dan murid.

    Dengan adanya pandemi, mau tidak mau tren pembelajaran menggunakan media online mewarnai sistem pendidikan ke depannya. Terdapat berbagai Learning Management System (LMS) yang berkembang dengan berbagai macam mode E-Learning.

    Perkembangan teknologi yang semakin gencar tersebut menurut Luqman tidak akan pernah bisa menggantikan ruh pendidikan yakni interaksi guru dan murid.

    “Interaksi guru dan murid tidak bisa dibatasi media apa pun, karena memiliki dampak yang paling besar terhadap murid. Karena pembelajaran bukan hanya masalah ilmu yang ditransfer, tetapi ada hal lain yang tidak akan didapatkan melalui metode daring, misalnya pendidikan karakter, cara berbicara dan bersikap, sopan santun, adab belajar, kedisiplinan, dan keteladanan lainnya yang dapat bermanfaat untuk murid, ” paparnya.

    Dosen pada Fakultas Ilmu Administrasi UB ini melanjutkan, konsep blended learning, yakni setengah daring dan setengan tatap muka sebenarnya sudah ada sejak sebelum pandemi, sehingga tidak menjadi suatu masalah, asalkan tidak menghilangkan esensi pembelajaran tatap muka.

    Ia menganalogikan hal ini dengan perguruan silat, di mana seorang murid tidak cukup mempelajari berbagai jurus, tetapi lebih kepada sikap sebagai seorang pendekar sejati. Jangan sampai jurus yang sudah dipelajari disalahgunakan untuk melakukan kejahatan. Seorang murid harus melihat sosok gurunya, sehingga dapat mengamati dan meneladani sikapnya.

    Adanya interaksi guru dan murid, disampaikan Luqman juga bermanfaat bagi seorang pendidik untuk dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengembangkan bakat dan minat mereka. Terutama bagi peserta didik di desa yang kurang bisa mendapatkan akses internet untuk pembelajaran daring.

    “Kecerdasan itu bermacam-macam. Ada yang suka berinteraksi dengan alam sehingga dapat menjadi ahli geologi atau biologi. Tetapi ada juga yang lebih suka berada di perpustakaan mempelajari teori, bisa menjadi ahli matematika. Setiap anak sudah memiliki kecerdasan yang diberikan Tuhan, tugas pendidik adalah mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan dan mengupgrade keunggulan mereka, ” ucap pria asli Malang ini.

    Dengan berbagai kemudahan mendapatkan ilmu karena kemajuan teknologi, maka menurut Luqman perlu adanya perubahan fokus yang awalnya guru sebagai ujung tombak ilmu atau teacher centered leaning, menjadi student centered learning, yakni pusat belajar ada di siswa, dan guru sebagai fasilitator.

    “Ini sebenarnya sesuai dengan prinsip pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantoro bapak pendidikan kita dulu. Yakni Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Jadi, dengan guru bergeser sebagai fasilitator pembelajaran adalah dalam rangka memenuhi gagasan Tut Wuri Handayani tersebut. Ini juga disebut dengan metode inquiry, yakni guru memberi dorongan berupa permasalahan, kemudian murid mencari jawaban, dan menyampaikan hasil pencaritahuannya kepada guru dalam bentuk tugas,  project, portofolio, makalah, atau esai, ” papar pria yang juga editor bahasa dan konsultan jurnal ini.

    Luqman menjelaskan, metode ini sudah dilakukan di Universitas Brawijaya (UB) dengan nama Problem Based Learning (PBL), di mana dosen memberi permasalahan yang sifatnya real dan bersinggungan dengan keadaan nyata, dan mahasiswa mencari solusi atau alternatif pemecahan masalahnya. Kedua,  Case Based Method, yakni mahasiswa diberikan kasus untuk kemudian harus melaksanakan project, diskusi, dan membuat laporan pengerjaan kasus tersebut.

    “Guru harus mulai mengubah mindset tidak lagi menjadi sumber ilmu utama tetapi seorang fasilitator. Dengan metode tersebut, murid otomatis juga akan mengubah mindset menjadi seorang pencari ilmu yang aktif, tidak lagi pasif, ” harap Luqman.

    Menindaklanjuti Surat Edaran Mendikbudristek, Rektor UB Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., M.S menyampaikan rencananya untuk memulai pembelajaran luring pada semester depan. Namun tetap akan melihat perkembangan Covid-19 dan diskusi terlebih dahulu dengan para dekan.

    Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2022 yang jatuh pada tanggal 2 Mei ini, Rektor berharap UB bisa terus berkiprah dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa dengan memberikan pendidikan yg lebih berkualitas.

    “Selain itu diharapkan UB mampu menghadirkan inovasi yang bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dan untuk kemajuan bangsa, ” pungkas Rektor. (Irene)

    KOTA MALANG
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Sosiolog UNAIR Paparkan Akar Berbagai Tradisi...

    Artikel Berikutnya

    Bripka Arif Harmoko Anggota Propam Polrestabes...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Antara Janji dan Realisasi
    Danrem 082/CPYJ Pimpin upacara peringatan Hari Juang TNI AD
    Mengenal Lembaga Pers WAKOMINDO

    Ikuti Kami